
VakansiInfo – Sebelum mengkaji hubungan antara Ajip Rosidi dengan Konperensi Internasional Budaya Sunda (KIBS), terlebih dahulu diterangkan apa yang dimaksud dengan kata mahiwal, mahiwal adalah kecap atau kata dalam bahasa Sunda yang artinya kurang lebih adalah lain dari pada yang lain, unik atau memiliki sifat yang tidak sama dengan orang kebanyakan alias istimewa atau berbeda dengan pada kebanyakan umumnya. Di antara sekian banyak sosok urang Sunda yang mahiwal itu, maka Ajip Rosidilah yang paling tepat mendapat julukan manusia Sunda atau jelema urang Sunda yang mahiwal.
Orang Sunda yang mahiwal ini lahir di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, 31 Januari 1938. Ia adalah salah seorang cendekiawan Indonesia yang sebagian besar waktunya dicurahkan untuk menjalankan berbagai kerja budaya, terutama yang berkaitan dengan bidang tulis menulis.
Ajip memulai kegiatannya dengan menulis karya sastera pada usia belasan tahun. Dengan latar belakang pendidikan formal yang hanya sampai ke tingkat sekolah menengah, ia mengembangkan diri secara otodidak hingga mencapai prestasi yang cukup mengagumkan.
Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dr. Ulrich Kratz (1988), hingga 1983 Ajip adalah pengarang sajak dan cerita pendek Indonesia yang paling produktif, dengan menghasilkan 326 judul karya yang dimuat dalam 22 majalah. Selain menulis karya sastera, ia juga menulis kritik dan telaah seputar sastera, bahasa, dan budaya, juga menulis biografi seniman dan tokoh politik. Terdapat lebih dari 100 judul buku yang telah ia tulis, baik berupa karya sastera maupun non sastera, baik berupa karya utuh maupun bunga rampai , baik yang di tulis dalam bahasa Indonesia, maupun bahasa Sunda.
Di antara sekian banyak kamonesan dan ihwal dari jelema mahiwal urang Sunda yang satu satunya ini, selain giat budaya menulis, adalah pemberian Hadiah Sastera Rancage, Rancage dalam bahasa Sunda yang artinya Kreatif. Giat budaya tersebut secara tetap diberikan setiap tahun sejak 1989.
Namun ada dua giat budaya lain yang sangat fenomenal dan menjadi catatan emas bagi Kebudayaan Sunda dan Indonesia yang akan lestari sepanjang sejarah. Yang rasanya sulit ditiru oleh Budayawan Sunda yang lain.
Kedua giat budaya di maksud adalah penyusunan Ensiklopedi Sunda dan Konferensi Internasional Budaya Sunda Akan halnya Ensiklopedi Sunda : Alam, Manusia, dan Budaya yang terbit pada awal September 2000 memiliki ketebalan lebih dari 700 halaman, ditulis selama sepuluh tahun dengan memuat 3.500 lema yang merupakan rujukan paling lengkap tentang Sunda dan kesundaan.
Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) yang digelar di Kota Bandung pada tanggal 22 sampai 25 Agustus 2001, diselenggarakan oleh Yayasan Kebudayaan Rancage, di Gedung Merdeka. Peristiwa yang bersejarah tersebut, juga menggunakan bangunan yang memiliki nilai’-nilai bersejarah pula. Gedung Merdeka yang terletak di Jalan Asia-Afrika 65, kini dikenal sebagai gedung terhormat, pada mulanya hanya bangunan sederhana yang digunakan untuk semacam “warung kopi”. Pada tahun 1920 dan 1928, gedung tersebut diperbaharui dalam bentuk sebagaimana yang tampak sekarang. Adalah dua arsitek bangsa Belanda yang membuat rancangan untuk pembangunan gedung tersebut, yaitu Van Gallen Last dan C. P. Wolf Schoemaker yang pada saat itu menjadi Guru Besar Technische Hogeschool, ITB sekarang.
Di dalam sambutannya, A. Chaedar Alwasilah M.A. Ph. D, Ketua penyelenggara KIBS, menulis : Sejauh manakah KIBS mengembalikan kepercayaan diri orang Sunda? Nuansa dan “greget” internasional KIBS ini nampak, antara lain, dari lima belas pakar asing dari delapan negara yang akan berunjuk seni atau menggelar makalah ihwal berbagai aspek budaya Sunda, antara lain seperti A. Teeuw (Belanda), Dieter Mack (Jerman), Madoka Fukuoka, (Jepang), Mason C. Hoadley (Swedia). Sewajarlah masyarakat Sunda bersyukur atas kehadiran para pakar asing itu.
Perlu di garis bawahi apa yang di ucapkan oleh si Mahiwal Ketua Yayasan Kebudayaan “Rancage”, Ajip Rosidi, bahwa :
“Masalah pewarisan budaya Sunda di tengah arus globalisasi memerlukan pembahasan yang lebih mendalam di kalangan para akhli dan praktisi, karena itu terasa mendesak untuk diselenggarakan sebuah pertemuan yang membahas hal tersebut dan yang memberi kesempatan kepada para Seniman, Guru, Birokrat, Pemuka Masyarakat Sunda, dan para Wartawan.
KIBS di harapkan akan mampu membangkitkan kesadaran baru masyarakat mengenal dan menyadari arti Kebudayaan Tradisional Sunda dalam membangun dan memperkaya kehidupan kita sebagai bangsa dan bagaimana mewariskannya kepada generasi kemudian.
Sejauh mana “kehebatan” penyelenggaraan Konferensi Internasional Budaya Sunda yang untuk pertama kali digagas dan berhasil dilaksanakan oleh Budayawan dari Jatiwangi itu ?
Paparan berikut akan menjelaskan lebih rinci.
Konferensi Internasional yang dibuka oleh A Chaedar Alwasilah M.A. Ph.D ini dan dengan pidato utama oleh Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja SH. MH, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia saat itu, memaparkan Kebudayaan Tradisional Sunda ke dalam 73 makalah. Ada pun ke 73 makalah terbagi atas 6 (Enam) kajian pokok :.
Sastera dan Budaya
Pada kajian tentang Sastera dan Budaya disajikan sebanyak 12 Makalah, antara lain di sampaikan oleh :
- Christine Campbell, dengan judul makalah “Women at the Crossroads”.
- Mikihiro Moriyama, dengan judul makalah “The Rise of Silent Reading in the Sundanese Community of West Java”.
- Hawe Setiawan, dengan judul makalah “Sastera Sunda dan Warisan Belanda Suatu Pendahuluan ke arah itu”
- Abdullah Mustappa “Muhammad Rustandi Kartakusumah Sebuah Pendekatan Kritik Sastera”.
- Taufik Ampera, dengan judul makalah ” Tradisi Kelisanan pada Anak-Anak : “Tradisi Yang Terpinggirkan”.
Sejarah, Arkeologi, dan Filologi.
Pada kajian tentang Sejarah, Arkeologi, dan Filologi, disajikan sebanyak 11 makalah, antara lain disampaikan oleh :
- Wendy Mukherjee, dengan judul makalah “Sundanese Manuscript Materials in the National Library of Australia.”
- Edi S. Ekadjati, dengan judul makalah ” Naskah Sunda : Sumber Pengetahuan Budaya Sunda”
- Tony Djubiantono, dengan judul makalah “Peninggalan Arkeologi Sunda”
- Tubagus Najib, dengan judul makalah “Benda-Benda “Keramat” sebagai bentuk Legitimasi Raja-Raja Masa Islam di Jawa Barat”.
- Richadiana Kartakusumah, dengan judul makalah ” Situs (Kabuyutan) Kawali di Ciamis, Jawa Barat : Ajaran Sunda di dalam Tatanan Tradisi Megalitik”.
- Nina Herlina Lubis, dengan judul makalah “Kearifan Tradisional : Warisan Sejarah Sunda”.
- Reiza D. Dienaputra, dengan judul makalah “Dari Cianjur ke Bandung : Proses dan Dampak Perpindahan Ibukota Karesidenan Priangan Tahun 1864 terhadap Perkembangan Fungsi Kota Cianjur dan Bandung”
Agama, Kepercayaan, dan Pandangan Hidup.
Kajian yang menelaah tentang Agama, Kepercayaan, dan Pandangan Hidup ditulis oleh 12 cendekiawan yang terdiri antara lain :
- Dadang Kahmad, dengan judul makalah “Agana Islam dan Budaya Sunda”
- Agus Aris Munandar, dengan judul makalah “Sebaran Situs Arkeologi di Jawa Barat : Tinjauan terhadap Dasar Konsepsi Keagamaan”
- Tommy Christomi, dengan judul makalah “Pamijahan as the Center of the Shattariyah Order in 17”
- Yudistira K. Garna, dengan makalah ” Sunda Wiwitan : Orang Baduy dari Pancer Bumi, Kanekes”.
- Robert Wessing, dengan judul makalah ” Telling the Landscape : Place and Meaning in Sunda”
Ekonomi, Kemasyarakatan, dan Politik.
Kajian terdiri dari 12 makalah, yang disampaikan antara laiin oleh :
- Mason C. Hoadley, dengan judul makalah “Sundanese Heritage in the Midst of Globalization : A Paint of Law”
- Arata Mariko, dengan judul makalah ” Masyarakat Petani Sunda dan Makan Bersama”
- Eep Saefullah Fatah, dengan judul makalah “Transisi Demokrasi, Budaya Lokal Sunda”
- Saini K. M. , dengan judul makalah ” Kebudayaan Sunda : Konservasi, Rekonstruksi dan Transformasi”
- Jakob Sumardjo, dengan judul makalah, “Pantun Sebagai Produk Budaya Sunda Lama”
Kesenian
Kajian tentang lingkup Kesenian di kemukakan oleh 12 pakar, di antaranya enam dari negara asing, mereka adalah Henry Spiller dari USA, menulis makalah berjudul “What is “Traditional” Sundanese Dance”, kemudian dua cendekiwan dari Negeri Matahari Terbit : Shota Fukuoka, dengan makalah berjudul ” The Sundanese Traditional Music in Radio Btroadcasting, the 1930s to 1950s “, dan Madoka Fukuoka, ia menulis dalam makalah berbahasa Indonesia berjudul “Hubungan antara Daerah Kultural dan Daerah Administratif di dalam Kesenian Jawa Barat”.
Selanjutnya ada Dieter Mack, cendekiawan asal Jerman, yang memaparkan kajiannya di dalam makalah berjudul “Pendidikan Seni Tradisional Sunda atau Pendidikan Seni-Quo Vadis?”. Cendekiawan lain dari Jerman Andrew N. Weintraub ia mengkaji tentang wayang golek yang dituangkan di dalam makalah berjudul ” A Tape-Recorded of Sundanese Wayang Golek : A Genealogy of Three Dalangs on Cassets”
Di dalam sessi Kesenian yang banyak peserta dari berbagai Perguruan Tinggi ternama di dunia itu juga tercatat cendekiawan dari Negeri Belanda, Wim van Zanten, ia menuliskannya dalam makalah berjudul “The Relation between Inner and Outer Voices in Sundanese Popular Music in the Era Globalization”
Beberapa budayawan dan cendekiawan Sunda yang patut digaris bawahi adalah pakar seni tari kahot dari Bandung yaitu Enoch Atmadibrata, dengan makalah berjudul ” Tari Sunda”, kemudian Arthur S. Nalan mengemukakan pokok kajiannya di dalam makalah berjudul “Perempuan Sunda : Suatu Studi Gender dalam Tradisi Lisan dan Tradisi Lakon di Jawa Barat” Selain itu ada dua Budayawan yang mengemukakan seni pencak silat dan tembang Sunda, masing-masing adalah : Gending Raspuzi dengan makalah berjudul “Perkembangan dan Tantangan Perguruan Pencak Silat di Jawa Barat dalam Menghadapi Persaingan Global”, dan Apung S. Wiratmadja, dalam makalah berjudul “Upaya Pengembangan dan Pelestarian Tembang Sunda : Masalah, Solusi, dan Saran”
Akhirnya sampai pada Pokok Kajian Terahir tentang Lingkungan Hidup, Arsitektur, Makanan dan Pakaian.
Pada pokok Kajian ini ada 11 pakar yang mengemukakan aspek Lingkungan dan Arsitektur, di antaranya adalah :
- R.E. Soeriatmadja mengemukakan kajiannya melalui makalah berjudul “The Ecological Interpretation on The Traditional Sundanese Community of “Kampung Naga” West Jawa, Indonesia.”
- Kusnaka Adimihardja, kajiannya di rumuskan dalam makalah berjudul “Komunitas Kasepuhan di Gunung Halimun, Jawa Barat.
- Sri Rahayu B. U. Kartohadiprodjo, melalui makalah berjudul “Penataan Kampung dan Rumah di Pedesaan yang bersumber dari Tradisi Bermukim Orang Sunda”.
- Suwarno Darsoprajitno, mengemukakan pokok bahasannya dalam makalah berjudul ” Tata Lingkungan Alam yang Membentuk Perilaku Budaya Sunda”
Yang menarik di dalam sessi ini ada kajian tentang makanan, busana dan tentang warna kasundaan. Mereka adalah :
- Setiawan Sabana, Prof. Ph.D. M.F.A., ia mengemukakan tentang “Kemasan makanan Sunda atau Makanan Tradisional di Jawa Barat”, kemudian,
- Endang Caturwati, mengkaji tentang “Busana Sunda : Sebuah Pewarisan Budaya”. Akhirnya pakar dan ahli Seni Rupa, Prof. Dr. Yusuf Affendi mengkaji Susunan Warna Kasundaan : Suatu Pendekatan Interpreatif, dan sebagai penutup dari keragaman kajian tentang Sejarah, Arsitektur, Lingkungan, Seni Budaya adalah makalah yang dikemukakan oleh Budayawan Tedi Permadi yang mengkaji “Daluang : Kertas Tradisional Sunda”.
Epilog
Konferensi Internasional Budaya Sunda yang pertama kali diselenggarakan itu telah hampir seperempat abad yang lalu.Namun sejauh ini adakah dampak yang memberi perubahan atau perkembangan bagi kehidupan budaya di Tatar Sunda?
Konferensi tentang Seni dan Kebudayaan Tradisional dan Sunda Modern telah dikaji dari berbagai aspek. Lingkup Seni dan Budaya Sunda tak hanya menguak Arsitektur, Lingkungan Alam, Sastera, Bahasa, Seni Rupa, Filsafat, Lagu, Tembang, Busana dan Makanan, semua telah dijelajahi, mereka yang menelaah dan mengkaji bukan sosok anu samanea, jelema biasa, melinkan para pakar dan ahli, yang Maha Guru dan Doktor, seyogianya jadi bahan pieunteungeun dan bahan untuk merenung betapa kaya dan lengkapnya jagat Seni dan Budaya Sunda itu.
Apa kabar para Budayawan dan Seniman urang Sunda? Apa kabar Museum-museum Kasundaan? Apa kabar Sundanologi? Apa kabar Taman Budaya?
Sebuah contoh kecil tapi berdampak besar : Kisah dari Dayeuh Bogor. Ada kisah tentang sebuah Museum yang di gadang-gadang menjadi Pusat Kebudayaan Bogor, namu layu sebelum berkembang.
Museum Pajajaran yang terbengkalai dan rusak sebelum di pakai.
Rachmat Iskandar adalah sosok yang tak asing dalam dunia pendidikan dan kebudayaan di Indonesia. Lahir di Bandung pada 6 Desember 1951, ia telah menapaki perjalanan panjang dalam berbagai bidang, mulai dari desain interior hingga pengabdian sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di bidang kebudayaan.
(Red)