VakansiInfo – Tawa anak-anak akhirnya kembali terdengar di halaman SDN 02 Cupak Tangah, Kota Padang, Sumatra Barat, pada Sabtu (6/12/2025). Di tengah tenda-tenda pengungsian dan bekas lumpur banjir yang belum sepenuhnya kering, puluhan anak duduk membentuk lingkaran, mendengarkan dongeng tentang hutan Sumatra yang sedang di terjang badai. Bagi mereka, momen ini bukan hanya hiburan—tetapi ruang aman untuk bernapas, belajar, dan memulihkan diri dari ketakutan.
Pagi itu, Mobil Dukungan Psikososial Kemkomdigi hadir membawa aktivitas trauma healing untuk anak-anak pengungsi. Namun ada yang berbeda: edukasi tentang PP Tunas, aturan perlindungan anak di ruang digital, di sampaikan dengan cara yang sangat ringan dan mudah di pahami.
“Adik-adik pasti tahu TikTok, Instagram, atau YouTube, ya?” tanya Bima Eka, Staf Ditjen Komunikasi Publik dan Media, membuka sesi interaksi.
Anak-anak serentak mengangguk, bahkan menyebutkan video dan lagu favorit mereka—konten yang dulu mereka tonton sebelum banjir besar merusak rumah dan memaksa mereka tinggal di pengungsian. Dengan bahasa yang sederhana, Bima menjelaskan pentingnya memilih tontonan yang sesuai usia dan kenapa pendampingan orang tua itu sangat di perlukan.
“PP Tunas itu melindungi adik-adik di dunia digital. Jadi kalau main HP atau medsos, harus di temani orang tua dan pilih konten yang sesuai umur, ya,” katanya sambil tersenyum.
Bagi anak-anak yang kini mengandalkan ponsel orang tua untuk menemani hari-hari di pengungsian, pesan itu terasa relevan. Dalam kondisi darurat, kontrol penggunaan gawai memang jadi tantangan tersendiri.
Dongeng yang Menguatkan
Setelah edukasi digital selesai, suasana kembali hidup saat pendongeng dan aktivis anak, Maya Janitra, melanjutkan cerita tentang hewan-hewan hutan Sumatra yang sedang menghadapi badai. Dengan boneka gajah, burung, dan kelinci lucu, Maya membawa anak-anak masuk ke dunia penuh imajinasi tentang keberanian dan kebersamaan menghadapi bencana.
Ketika ditanya apa pelajaran dari cerita itu, seorang anak bernama Ibnu, kelas 4 SD, menjawab polos, “Jangan takut banjir. Kalau bersama-sama pasti bisa.”
Jawaban sederhana itu langsung disambut tepuk tangan para relawan. Meskipun terdengar ringan, ucapan Ibnu menyimpan ketegaran—anak-anak ini telah menyaksikan rumah rusak, kehilangan peralatan sekolah, bahkan terpisah dari orang tua saat galodo datang begitu cepat.
Bagi Maya, dongeng bukan hanya cerita. “Dongeng membantu anak merasa aman. Mereka perlu tahu bahwa mereka tidak sendiri,” ujarnya.
Belajar Bermedia Sosial dengan Bijak
Edukasi PP Tunas menjadi elemen penting dalam kegiatan ini. Banyak orang tua yang hadir baru menyadari betapa pentingnya mengawasi penggunaan ponsel, terutama ketika anak-anak mencari hiburan dari internet setelah bencana.
“Sekarang banyak berita yang belum tentu benar. Orang tua harus lebih memperhatikan apa yang di lihat anak-anak,” kata Maya.
Kemkomdigi menegaskan bahwa ruang digital harus tetap aman, bahkan dalam krisis. Anak-anak yang sedang memulihkan trauma dapat lebih mudah terpengaruh konten negatif, sehingga pendampingan adalah kewajiban.
Usai dongeng, anak-anak bermain, bernyanyi, memberi nama pada boneka hewan, hingga memungut sampah sebagai simbol menjaga alam. Mereka tertawa dan saling bercanda—setidaknya untuk sementara, banjir dan suara air deras itu terlupakan.
Kegiatan ini mungkin terlihat sederhana bagi orang dewasa. Tapi bagi anak-anak yang sedang membangun kembali rasa aman, setiap tawa adalah langkah kecil menuju pemulihan.
Menutup acara, anak-anak meneriakkan yel-yel dari Kak Maya. “Aku kuat!, Aku hebat!, Aku semangat!”
Di tengah keadaan darurat, semangat kecil itu menjadi hadiah terbesar—tanda bahwa harapan anak-anak Sumbar tetap menyala, meski lingkungan mereka masih dalam masa pemulihan.
(Mur)



