“Perjalanan Atletik yang Niatnya Cuma Setengah”
VakansiInfo – Minggu pagi datang dengan gaya sok ramahnya—kayak dia pikir kedatangannya membawa ketenangan, padahal buat sebagian anak IPS, terutama gue, Minggu itu justru semacam surat panggilan wajib militer: praktek olahraga atletik.
Matahari Bekasi sudah menyala dari jam-jam yang bahkan ayam kampung pun masih ragu buat bangun. Cahaya itu nyorot pelan ke jendela kamar gue, seolah-olah mau bilang, “Siap-siap ya, Cil. Gue hari ini mau nyentil tengkuk lu.”
Gue bukan atlet.
Sprint? Jalan cepat aja suka bikin gue mikir ulang urutan prioritas hidup—antara pendidikan, iman, dan drama pura-pura sakit.
Kalau hidup kasih dua pilihan:
- Lari beneran, atau
- pura-pura masuk angin,
gue jelas condong ke opsi dua. Dengan mantap.
Di kepala gue ada suara random—gue gak tau itu suara temen, suara batin, atau suara hampa seorang anak IPS.
“Latihan fisik tuh gak ada temennya, Cil. Pegel dapet, capek dapet, nilai belum tentu. Panas Bekasi tuh menegur lo kayak dosen killer: keras tapi gak ada solusinya.”
Gue cuma ngangguk dalam hati.
Valid semua.
Yang gue pikirkan hari itu bukan teknik start jongkok atau berapa putaran yang harus gue tempuh. Tapi hal paling krusial dan jauh lebih rumit: minta duit iuran atletik ke Emak tanpa keliatan menyedihkan.
Iurannya sepuluh ribu.
Emak ngasih dua puluh ribu.
Dua puluh ribu itu bukan nominal.
Itu restu, kepercayaan, dan bentuk cinta yang gak selalu bisa gue balas.
—
Sabtu sorenya, Bahar nganter gue pulang sambil bawa gaya santai khas anak IPA yang hidupnya lebih lapang.
“Cil, Minggu besok bareng gue ke UNISMA ya.”
“Jangan pagi-pagi amat. Gue ada ritual wajib.”
“Pea lu.”
Ritual wajib itu… ya, lo tau sendiri: urusan perut yang harus diberesin sebelum olahraga. Kalau tidak, hidup bisa berubah jadi bencana nasional.
—
Minggu paginya, gue dandan seadanya. Seragam olahraga sudah kayak kantong keresek yang pernah jatuh lalu dipungut lagi. Tapi sepatu Rhummel hitam menyelamatkan muka. Anak IPS biasa gitu: kombinasi antara niat minimalis dan usaha agar keliatan peduli.
Gue nunggu Bahar di depan rumah Davi, dekat mushola. Tempat itu adem, bukan karena apa-apa, tapi karena nyokap gue kerja jagain adiknya Davi, si Sana. Jadi area itu semacam rumah kedua—tanpa AC tapi penuh kenangan.
Gue keluarin Nokia 2300 lungsuran dari Ka Uci. Radio M2 Radio gue nyalain. Suaranya cempreng khas radio Bekasi, tapi justru itu yang bikin pagi kerasa familiar.
Bu Iin keluar sambil gendong Sana—anak kecil yang selalu berhasil bikin suasana hidup meski baru bangun 20 detik yang lalu.
“Eh, Aa udah rapi. Mau ke mana?”
“Ada praktek olahraga, Bu.”
“Udah sarapan?”
“Belum Bu, takutnya nanti yang keluar malah nasi uduk.”
Bu Iin ketawa—yang tipe ketawanya bikin orang lain ikutan senyum.
Dia masuk sebentar, balik lagi bawa selembar sepuluh ribu.
“Nih buat beli sarapan.”
“Aduh, Bu, kebanyakan.”
“Udah, ambil aja.”
Sepuluh ribu itu kayak dorongan pelan di punggung:
“Semangat, ya. Hidup kamu belum selesai.”
Sebagai anak yatim sejak kelas 4 SD, gue selalu sensitif sama kebaikan-kebaikan kecil kayak gitu. Ada ruang tertentu di dada yang langsung hangat setiap ada orang dewasa peduli tanpa banyak tanya.
Sana nyeletuk kecil:
“eeehhk…”
Gue senyum.
Anak kecil emang punya cara untuk menenangkan dunia.
Dan momen damai itu langsung dibelah suara klakson:
TIIIIN—TIIIIIN!
Itu jelas Bahar.
Gayanya kayak nunggu jemputan film remaja, tapi yang nongol tetep: Supra Fit X, kinclong macam baru keluar dealer. Knalpotnya doang yang sok garang.
“Motor Megapro lu mana?”
“Dipinjem Om gue. Udah naik, Cil.”
“Yaudah, sini gue bawa.”
Gue ambil alih stang.
Refleks. Gue gak rela kalau motor disetir dengan gaya “asal hidup”.
Begitu duduk, mata gue langsung nyamber helm full-face di depan.
“Har, ini helm siapa?”
“Punya gue.”
“Model gini mah biasanya bonus beli motor baru, Har.”
Dia nyengir pasrah.
“Hehehe… ketauan ya…”
“Bro, gue tuh indigo khusus barang promo.”
Motor melaju pelan keluar gang.
Angin pagi nyebrangin muka gue—adem, tapi cukup buat ngingetin:
Cil, lu belum sarapan.
Tapi hidup anak IPS?
Ya biasa. Bensin dulu, makan belakangan.
Selama gak pingsan, aman.
—
Begitu masuk jalur Mangunjaya, jalanan mulai keliatan hidup. Beberapa motor lewat dalam mode terburu-buru; yang lain santai seakan dunia lagi slow motion. Gue termasuk tipe yang santai tapi banyak mikir.
“Lu bawa duit gak, Har?”
“Ada.”
“Gue mau beli Asep-asep dulu.”
Bahar melirik gue kayak orang yang baru sadar temannya punya prioritas aneh.
“Tar dulu, napas dulu napa…”
Gue ketawa, belok ke warung kecil deket tanjakan. Warung yang dari SD sampai SMA gak berubah: kopi sachet, rokok ecer, kursi plastik miring, dan memori kecil tentang hidup.
Gue beli Starmild—ritual yang sering gue anggap sebagai “persiapan batin”.
“Cil, anak-anak IPS pada dateng gak?”
“Har… yang dateng itu cuma mereka yang lupa ini hari Minggu.”
Dia ketawa pendek.
“Gue tadi debat sama bokap.”
“Lu minta berapa?”
“Lima puluh.”
“Wah… anak sultan.”
Dia ketawa.
Dan disitu gue sadar: hidup gue sama dia jauh berbeda.
Dia anak berada.
Gue? Hidup pas-pasan tapi tetep berusaha santai.
Di gapura Mangunjaya Indah 2, gue nyeletuk:
“Kalo gue minta lima puluh, Emak gue mikir gue buka judi togel keliling.”
Bahar ketawa sampe miring.
Sebelum gue beneran kebawa perasaan, dia nyenggol tangan gue.
“Cil, serius… anak IPS pada muncul gak?”
“Kalo ada lebih dari lima orang, itu udah masuk kategori fenomena alam.”
Kami tertawa sambil meluncur ke UNISMA.
“Cil, kita nunggu anak-anak dulu apa gimana?”
“Ngapain nunggu, Har. Dari ditinggal cewek sampe dituduh nyolong uang kas, banyak kejadian sedih berawal dari nunggu.”
Dia ngakak.
Dan aroma bensin tipis-tipis meyakinkan gue:
Hari Minggu ini bakal absurd.
—
Begitu roda motor masuk area kampus UNISMA, suasananya langsung berubah. Kawasan itu adem, rapi, dan penuh aura “orang-orang yang punya gambaran masa depan”. Beda dengan gue yang cuma pengen gak disuruh lari sambil panas.
“Har, tanya security. Salah belok bisa-bisa masuk ruang sidang skripsi.”
“Tuh, tuh… itu Pak Satpamnya.”
“Dari mana?”
“Al-Muhajirin, Pak. Atletik.”
“Gedung ujung. Belok kanan, lurus.”
“Siap, Pak.”
Mahasiswa-mahasiswa lewat dengan gaya masing-masing:
Ada yang jalan sambil baca buku tebal, ada yang wajahnya kayak laptop nge-freeze, ada juga yang baru sidang—auranya jelas: jangan tanya apa pun ke gue.
“Bagus ya kampusnya.”
“Iya. Sayang bukan negeri.”
“Yang penting bukan warnet.”
“Setuju.”
Kita parkir. Turun.
Dan langsung nemu dua orang dengan aura drama: Rohman dan Maya.
Hubungan mereka tuh aneh: ribut, baikan, kode-kodean, ribut lagi, ulangi.
Persis lem kadaluarsa—harusnya udah nggak nempel, tapi tetep nempel juga.
“Cil, mereka kayak virus.”
“Yoi. Nggak bikin sehat, tapi nggak mati-mati.”
“Kayak nilai IPS.”
“Valid.”
Gue matiin motor, dan di dalam hati gue tau—
Ini baru pembukaan.
Masih banyak kekacauan Minggu pagi yang ngantri buat muncul.

Muhammad Haadi Nur Haq (Acil)
Lahir di Jakarta, 12 Desember 1990. Tumbuh di keluarga sederhana namun berkecukupan, rumahnya selalu di penuhi canda dan tawa. Sejak kecil, Acil suka mengamati dunia dari sudutnya sendiri, mencatat hal-hal kecil yang sering luput dari perhatian orang lain. Kini, ia menulis untuk menghadirkan cerita yang hangat, penuh humor, dan mudah di nikmati pembaca. Sesekali dengan sentuhan kejenakaan yang bikin senyum tipis atau setidaknya mengangguk sambil bilang, “Iya, gue ngerti nih.



