VakansiInfo = Tahun ini, perhatian publik tertuju pada sosok Gubernur Jawa Barat, KDM, yang kerap dianggap tampil berbeda dan fenomenal. Setiap langkah dan kebijakan yang diambilnya selalu mendapat sorotan masyarakat, khususnya di Tatar Pasundan. Tak sedikit yang menilai, KDM memiliki potensi besar untuk menembus pencalonan Presiden Republik Indonesia, bahkan disebut-sebut sebagai figur penerus dari luar Jawa pengganti Prabowo.
Meski demikian, perlu diingat bahwa tradisi politik nasional masih didominasi figur Jawa, yang dikenal tangguh dan sulit tergeser. Karena itu, jika KDM benar-benar berambisi maju sebagai calon Presiden di Pemilu 2030, langkahnya tentu tidak bisa hanya mengandalkan popularitas pribadi di kalangan masyarakat Sunda. Ia perlu memperkuat posisinya dengan dukungan sosok-sosok mahiwal—tokoh luar biasa yang di akui kapasitas dan pengaruhnya.
Di antara deretan tokoh Sunda yang di kenal mahiwal, dua nama besar kerap di sebut: Ali Sadikin dan Ajip Rosidi. Keduanya adalah figur inspiratif yang dapat menjadi simbol kekuatan dan kharisma Sunda di panggung nasional.
Ali Sadikin: Sang Gubernur Mahiwal
Ali Sadikin, seorang Letnan Jenderal KKO, di lantik menjadi Gubernur DKI Jakarta pada usia 39 tahun atas pilihan Presiden Soekarno. Sosok yang akrab di sapa Bang Ali ini dikenal tegas, disiplin, pantang mundur, dan berani mengambil keputusan.
Saat pertama kali menjabat, ia harus memulai dari titik nol. Namun, berkat keteguhan dan disiplin militernya, ia berhasil mengubah wajah Jakarta secara besar-besaran. Jenderal A.H. Nasution dalam majalah Progres edisi Juni 1977 menyebut bahwa pembangunan Jakarta di mulai sejak 1960 atas prakarsa Soekarno, dan kemudian di lanjutkan serta di kembangkan dengan gemilang oleh Ali Sadikin selama hampir satu dekade.
Bang Ali di kenal sebagai gubernur yang religius, dekat dengan rakyat, dan bersahabat dengan pers. Ia juga memberi ruang luas bagi kesenian dan kebudayaan. Di masa kepemimpinannya, Taman Ismail Marzuki (TIM) menjadi pusat seni dengan lebih dari 250 pertunjukan tiap tahun. Pada Oktober 1973, ia membentuk Akademi Jakarta, sebuah lembaga prestisius yang berhak memberikan penghargaan seni kepada seniman berprestasi, di mana penghargaan pertama di berikan kepada W.S. Rendra.
Meski keberhasilannya besar, Bang Ali pada akhirnya kurang mendapat apresiasi rezim Orde Baru karena di anggap berseberangan dengan penguasa, sehingga ia di kucilkan setelah tak lagi menjabat gubernur.
Ajip Rosidi: Mahaguru Tanpa Ijazah
Tokoh kedua yang layak di sebut mahiwal adalah Ajip Rosidi, budayawan sekaligus sastrawan produktif asal Sunda. Sejak usia 13 tahun, Ajip sudah menulis dalam bahasa Indonesia di media nasional, hanya setahun setelah Indonesia merdeka. Hal ini menunjukkan betapa kuat ikatan Ajip dengan gagasan kebangsaan.
Sepanjang hidupnya, Ajip menulis dengan semangat luar biasa. Ia tidak hanya menghasilkan karya sastra, tetapi juga berkiprah dalam berbagai upaya kebudayaan: mengumpulkan pantun kuno Sunda, memimpin penerbitan yang tidak berorientasi profit, hingga menyusun Ensiklopedi Sunda. Ia juga sempat menjadi profesor di Jepang tanpa ijazah formal, sekaligus pendiri Hadiah Sastra Rancage yang hingga kini menjadi penghargaan bergengsi bagi sastrawan daerah.
Kedekatan Ajip dengan gagasan Islami juga menonjol, terutama setelah ia meneliti karya-karya H. Hasan Mustapa, seorang penyair mistik asal Jawa Barat. Melalui telaahnya, Ajip meneguhkan posisinya sebagai intelektual yang menjembatani budaya Sunda, Islam, dan kebangsaan.
Epilog
Fenomena KDM sebagai figur populis, komunikatif, dan bekerja cepat mengingatkan publik pada sosok Bang Ali yang berhasil menata Jakarta menjadi kota berkelas internasional. Namun, KDM juga membutuhkan inspirasi dan kharisma dari figur seperti Ajip Rosidi. Sang budayawan mahiwal yang sepanjang hidupnya mengabdikan diri bagi kebudayaan dan bangsa.
Jika KDM mampu menggabungkan daya populisnya dengan ketegasan ala Ali Sadikin dan kebijaksanaan budaya ala Ajip Rosidi. Bukan mustahil langkahnya menuju gerbang kepemimpinan nasional semakin kuat. Dari Tatar Sunda, akan lahir harapan baru yang tak hanya merakyat, tetapi juga berakar pada kearifan dan kejayaan budaya leluhur.
(Rachmat Iskandar/red)