
VakansiInfo – Hari ketiga pelaksanaan High-Speed Railway Familiarization Trip 2025 membawa rombongan menjelajahi sisi lain Jawa Barat yang kaya budaya dan alamnya. Setelah menempuh perjalanan dari Karawang, para peserta menginap di Sari Ater Hotel & Resort, kawasan wisata air panas legendaris di Subang.
Udara sejuk dan suasana pegunungan jadi pelipur setelah hari yang padat. Malam diisi dengan berendam air panas alami yang menenangkan, sementara pagi hari dimulai dengan perjalanan menuju Lembur Pakuan Sukadaya, salah satu lokasi kerja Gubernur Jawa Barat yang mengusung filosofi “Sunda Ngabret” — Ngabangun Bareng Rakyat.
Lembur Pakuan: Saat Caping, Tawa, dan Alam Subang Menyatu Jadi Cerita
Pagi di Subang terasa lebih adem dari biasanya. Matahari baru naik setinggi kepala waktu rombongan tiba di Lembur Pakuan Sukadaya. Tapi suasananya jauh dari kesan formal — di sini, semuanya terasa hidup dan hangat seperti kampung yang menyambut keluarga lama pulang ke rumah.
Begitu turun dari kendaraan, peserta disambut Mojang dan Jajaka Subang bersama tim dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Subang.
Mereka mengenakan topi caping bambu dan pakaian adat Sunda berwarna lembut. Senyumnya ramah, sapanya tulus. Sederhana, tapi penuh makna.
Rombongan lalu diajak ke Taman Bunisora, spot pertama yang langsung mencuri perhatian. Gapura bata merahnya menjulang gagah di bawah langit biru, jadi latar sempurna untuk foto bareng. Mojang dan Jajaka mengangkat caping mereka tinggi-tinggi, dan dalam hitungan detik, semua ikut berpose. Klik! Satu momen ceria pun terabadikan.
Tak jauh dari sana, terbentang hamparan sawah hijau yang sejuk di mata. Peserta berjejer di tepi pematang sambil memegang caping berbingkai warna-warni.
“Kayak photoshoot iklan beras!”
kata salah satu peserta, di sambut tawa berderai.
Di tengah area, berdiri Bale Pamanah Raga — tempat pertemuan warga yang kini juga jadi spot foto wajib. Dari sana, perjalanan berlanjut ke area patung Pak Dedi Mulyadi, berdiri tegak dengan senyum khasnya. Patung itu seolah menyapa setiap pengunjung:
“Selamat datang di kampung yang kami bangun bareng-bareng.”
Lembur Pakuan ini dulunya kampung halaman Pak Dedi Mulyadi yang kini di tata rapi menjadi kawasan wisata budaya dan edukasi. Bangunan tradisional berdiri berdampingan dengan taman-taman asri, jalan batu bata merah, dan ornamen khas Sunda yang membuat suasananya begitu hidup.
Kalau datang di akhir pekan, kawasan ini makin semarak. Jalan utama di tutup untuk kendaraan — berubah jadi car free day versi kampung. Di sepanjang jalan, berjajar pedagang UMKM yang menjual oleh-oleh khas Subang, jajanan tradisional, hingga kerajinan bambu dan anyaman tangan warga.
Suara bambu mulai terdengar. Bukan dari hutan, tapi dari pertunjukan kesenian tutunggulan — musik tradisional yang di mainkan oleh ibu-ibu berkebaya, menggunakan lumbung dan alu sebagai alatnya.
Irama bambu berpadu dengan gamelan kecil yang di mainkan anak-anak, menghasilkan nada-nada ceria yang bikin siapa pun tersenyum.
Dan tentu saja, momen paling heboh hari itu datang dari aksi spontan salah satu peserta yang memberanikan diri mencoba belalang goreng.
Awalnya ragu, tapi setelah gigitan pertama, dia langsung ngakak:
“Serius, ini kayak keripik gurih!”
Tawa pun pecah lagi.
Lembur Pakuan sore itu terasa sempurna — bukan cuma indah, tapi juga penuh tawa, keramahan, dan rasa syukur.
Hangatnya Meja Makan dan Cerita dari Negeri Sebelah
Usai agenda di Lembur Pakuan, perjalanan berlanjut dengan makan siang di sebuah rumah makan khas Sunda. Hidangan sederhana seperti ayam bakar, ikan goreng, sambal, dan lalapan segar disajikan di tengah suasana pedesaan yang adem.
Di sinilah kehangatan lintas budaya terasa. Empat peserta asal Malaysia tampak menikmati gurame bakar sambil berbagi cerita tentang kuliner di negeri masing-masing.
“Ikan ini betul-betul sedap, dagingnya lembut, tak macam yang di tempat kami,” ujar salah satu peserta sambil tersenyum lebar.
Bang Jay yang duduk di seberang ikut nimbrung, “Orang Sunda emang bangga banget sama gurame, Bang. Kalau nggak ada gurame, belum sah makan siang katanya.”
Pak Rangga langsung nyeletuk, “Aduh, Mas Jay, di Malaysia mana ada orang dipanggil Bang, yang ada Pak Ci sama Mak Ci.”
Peserta dari Malaysia ngakak sampai tepuk meja. “Betul tu, Pak Rangga! Kalau saya panggil Bang, nanti disangka abang betul, bukan kawan makan,” katanya sambil geleng kepala.
Semua ketawa, termasuk Bang Jay yang cuma bisa nyengir sambil ngunyah lalapan.
“Yaudah deh, ganti aja, panggil saya Pak Ci Jay Gurame,” katanya ngelawak, bikin suasana makin pecah.
Obrolan ngalir ke soal bumbu, sambal, dan cara makan pakai tangan. Bahasa boleh beda, tapi tawa di meja makan itu sama: tulus dan hangat.
Ruhiyat Wooden Puppet and Mask: Saat Wayang Mulai Bicara Pelan
Perjalanan lewat jalan tikus akhirnya berhenti di sebuah bangunan sederhana di pinggiran Bandung — Ruhiyat Wooden Puppet and Mask. Dari luar tampak biasa, tapi begitu masuk, suasananya seperti mundur ke masa lalu. Bau cat, debu kayu, dan deretan wajah wayang yang diam tapi seolah punya cerita sendiri.
Mojang dan Jajaka yang mendampingi menjelaskan bahwa Pak Tatang Ruhiyat, penerus generasi ketiga dari Ruhiyat sang pendiri, kini sedang sakit.
“Beliau sudah jarang turun langsung. Biasanya anak dan istrinya yang mengerjakan,” ujar salah satu pemandu dengan suara pelan.
Beberapa peserta terdiam, memperhatikan karya-karya yang tergantung di dinding. Ironisnya, sebagian besar wayang dan topeng di sana justru dipesan dari luar negeri.
“Lucunya ya, yang sering datang ke sini malah turis luar. Dari Belanda, Jerman, Malaysia juga ada. Kadang mereka lebih ngerti nilai seninya dibanding orang kita sendiri,” katanya sambil tersenyum getir.
Hening sejenak. Lalu tawa kecil pecah saat salah satu peserta yang diminta memainkan wayang malah menjatuhkannya sendiri.
“Nah, itu tandanya wayangnya pengen ikut tampil juga, Pak,” celetuk pemandu sambil tertawa.
Tawa ringan menutup sore itu. Wayang-wayang itu tetap diam, tapi seolah bicara: tentang waktu, lupa, dan betapa mudahnya sesuatu yang indah hilang kalau tak dijaga.
Malam Penutup di Braga: Cerita yang Menghangatkan Jeda
Acara malam penutup digelar di Hotel Kimaya Braga Bandung by HARRIS. Suasana terasa hangat dan bersahabat, dihadiri oleh Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, Dr. Iendra Sofyan, S.T., M.Si., yang menyampaikan apresiasi atas kolaborasi lintas daerah dalam kegiatan High-Speed Railway Familiarization Trip 2025.
Sebelum acara dimulai, Mojang Jawa Barat 2025, Nelada Nia, memandu hadirin mencoba salam khas Sunda.
“Kalau saya bilang Sampurasun, jawabnya Rampes, ya!”
Serempak ruangan menjawab,
“Rampes!”
Tawa kecil langsung pecah, mencairkan suasana malam yang penuh keakraban.
Musik lembut mengalun, diikuti pertunjukan tari tradisional yang menampilkan keanggunan budaya Jawa Barat.
Setelah itu, layar besar menampilkan kilasan perjalanan dari hari pertama hingga hari ketiga. Wajah-wajah peserta yang sempat letih di Sari Ater, tertawa di Subang, hingga khusyuk di Ruhiyat, kembali muncul di layar.
Salah satu peserta asal Malaysia maju ke depan dan menyampaikan kesan mendalamnya. “Saya benar-benar kagum. Di balik kota yang moden, masih ada semangat sejarah dan kebanggaan yang kuat. Itu luar biasa.”
Tepuk tangan hangat menutup sesi apresiasi. Tapi malam belum selesai.
Bagian paling menarik justru datang di penghujung acara: sesi Table Top Meeting — ruang interaksi langsung antara seller dan buyer.
Para seller, yang terdiri dari berbagai travel agent, hotel, destinasi wisata, serta perwakilan restoran yang dikunjungi selama tiga hari perjalanan, duduk di meja-meja dengan produk unggulannya masing-masing.
Sementara buyer, yaitu para peserta trip, berkeliling dari satu meja ke meja lain setiap lima menit, memperkenalkan diri, bertukar kartu nama, dan mendengar langsung presentasi dari para seller.
Suasana santai tapi produktif. Ada yang sibuk mencatat, ada yang sudah merencanakan kerja sama baru, ada juga yang sekadar ngobrol ringan sambil menyeruput kopi.
Semua berbaur — ide, peluang, dan semangat kolaborasi.
(Acil)