VakansiInfo – Saat dunia rock mulai kehilangan arah, Kurt Cobain datang bukan sebagai bintang glamor, tapi sebagai simbol ketulusan, keresahan, dan kejujuran mentah. Bersama Nirvana, ia tidak hanya menciptakan lagu—ia memicu revolusi musik.
Anak Pinggiran yang Mengguncang Dunia
Lahir di Aberdeen, Washington, 20 Februari 1967, kehidupan Kurt penuh luka sejak kecil—perceraian orang tua, kesepian, hingga pencarian jati diri. Semua itu menjadi bahan bakar bagi lirik-lirik gelap dan penuh emosi yang kelak dikenal luas dunia.
Nirvana dan Ledakan Grunge
Ketika Nirvana merilis album Nevermind (1991), lagu “Smells Like Teen Spirit” meledak seperti bom di dunia musik. MTV tak berhenti memutarnya, radio memainkannya siang malam, dan anak muda di seluruh dunia menemukan cermin jiwa mereka.
Kurt tidak tampil glamor, tidak menulis lagu cinta standar. Ia datang dengan lirik absurd, penuh rasa sakit, dan musik yang kasar tapi jujur. Inilah era grunge, dan Kurt adalah rajanya—meski ia sendiri tak pernah menginginkan mahkota itu.
Lirik yang Menampar, Gitar yang Bersuara
Meski bukan gitaris teknikal, gaya bermain Kurt sangat khas: distorsi kotor, riff sederhana namun ikonik, dan vokal yang terdengar seperti jeritan dari dalam kepala.
Liriknya? Penuh ironi dan metafora kelam. “I’m so happy ‘cause today I found my friends—they’re in my head.” (Lithium) atau “I feel stupid and contagious.” (Smells Like Teen Spirit)—semua mencerminkan konflik batin generasi muda.
Antara Ketenaran dan Kekosongan
Ketika Nirvana mencapai puncak ketenaran, Kurt justru merasa semakin terasing. Ia membenci industri musik yang membungkus keresahannya menjadi produk. Tekanan media, kecanduan narkoba, dan gangguan mental memperburuk keadaannya.
Hingga akhirnya, pada 5 April 1994, Kurt Cobain ditemukan tewas di rumahnya. Ia meninggalkan dunia pada usia 27, dan masuk dalam “27 Club”—klub tragis musisi jenius yang berpulang terlalu cepat.
Warisan Abadi Kurt Cobain
Lebih dari dua dekade setelah kepergiannya, pengaruh Kurt Cobain tetap hidup. Musiknya terus didengar, kaus Nirvana terus dikenakan, dan generasi baru tetap menggali makna dari setiap bait lagu yang ia tulis.
Kurt membuktikan bahwa jujur dalam luka adalah bentuk seni tertinggi. Ia tak peduli sempurna, yang penting nyata.
“I’d rather be hated for who I am, than loved for who I am not.” — Kurt Cobain
(Fai)



