
Foto: Istimewa Jangkar Jiwa Media Ckr03
Vakansiinfo – Terik matahari sejak pagi menyengat kota Bogor, di salah satu ruas wilayah Sukasari Bogor Timur tepatnya di bantaran sungai Ciliwung. Tampak beberapa orang mengenakan seragam Satgas Ciliwung kota Bogor tengah membersihkan bantaran sungai dari sampah dan membabat rerumputan.
Di tengah kesibukan mereka, ada yang tengah sibuk menata dan menyusun batu-batu sungai. Dan barang temuan lainnya menjadi sebuah bentuk visual yang unik melingkari 3 bibit pohon jambu bol. Yang menambah artistik tampilan batu-batu tersebut. Seolah ingin menunjukkan arti pentingnya bibit pohon sebagai tunas kehidupan yang membentuk ekosistem bumi.
Orang yang tampak sibuk menata batu-batu sungai itu adalah Heri Cokro dan Tohir Kulikulo. Pegiat Jangkar Jiwa dan Trotoar Kreatif yang aktif berkecimpung dalam dunia seni dan budaya.
Pada hari, Rabu (17/04/2024) telah di gelar kegiatan Diskusi Publik Pitulasan#3. Yang di inisiasi komunitas Pekerja Seni Bogor dan Trotoar Kreatif di seputaran Taman Malelang Jalan Siliwangi, kelurahan Bogor Timur, Kota Bogor.
Sebelum kegiatan di mulai, di pentaskan sebuah sajian kolaborasi Happening Art bertemakan lingkungan. Dengan tajuk “Susuci Diri, Susuci Bumi” dari Jangkar Jiwa, Trotoar Kreatif, dan di iringi musik dari Madun Sareng Rencang di bantaran sungai Ciliwung.
Tepat pukul 14.00 Wib happening art di mulai dengan di awali Doa dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sebagai bentuk ketakwaan dan rasa cinta tanah air yang harus tetap terjaga dalam kesadaran kita di mana pun kita berada. Bekerja dan berkarya demi nusa bangsa Indonesia.

Tampilan dan Makna Happening Art Susuci Diri, Susuci Bumi
Selepas alunan lagu Indonesia Raya tampak sosok manusia lusuh membagikan batu-batu sungai kepada setiap hadirin. mtereka di minta ikut terlibat dalam pertunjukan ini dengan memukulkan batu tersebut. Dan menghasilkan bunyi-bunyian acak yang akhirnya menjadi terdengar ritmis, musik batu!
Sosok tersebut tampak memasuki lingkaran bebatuan yang di susun menjadi panggung pementasan. Kemudian dia berbaring mendengarkan alunan musik batu yang ritmis. Hingga tiba-tiba masuk dua sosok manusia yang menumpahkan aneka sampah ke atas tubuh sosok terbaring itu.
Tampilan ini mengingatkan bahwa lingkungan kita mulai di rusak tangan-tangan manusia yang tak memiliki kepedulian terhadap lingkungan. Hingga sosok manusia lusuh tersebut tertimbun gunungan sampah. Meski dia menggeliat, berteriak tapi orang-orang itu tidak peduli. Hingga sampah itu terus menggunung dan mengubur sosok lusuh dalam timbunan sampah. Serupa sungai Ciliwung dan sungai-sungai lainnya yang menjadi tempat sampah warga yang mengotori dan mencemari sungai.
Saat timbunan sampah tersebut sempurna terkubur. Hadir dua sosok berbusana putih dan seorang anak kecil berselempang kain batik. Mereka merasa sedih dan mulai menggali tumpukan sampah untuk menyelamatkan sosok lusuh yang terkubur.
Dalam kesedihan, sosok terkubur berhasil di keluarkan, di bersihkan dari sampah yang menempel. Dan di mandikan dengan air suci dari sungai Ciliwung. Proses membersihkan diri ini tampak menjadi dramatis. Karena memang sulit sekali membasuk kekotoran, kekeruhan yang telah bertumpuk di tubuh sosok lusuh tersebut. Hal ini menggambarkan betapa sulit kerja-kerja menjadikan sungai dan lingkungan kembali bersih kembali suci alami. Meski berat tapi semua ini harus di kerjakan demi mewujudkan hidup yang lebih baik bersama alam dan sesama hidup.

Bibit pohon, benih kehidupan
Setelah di mandikan air sungai Ciliwung, dua sosok tersebut memberikan bibit pohon sebagai perlambang tunas kehidupan dan di sucikan bersama dengan air sungai untuk di tanam di taman malelang sebagai tanda kesiapan tekad, berkerja keras mewujudkan lingkungan hidup yang lebih bersahabat, lebih memuliakan kehidupan.
Akhirnya happening art susuci diri, susuci bumi di pungkasi dengan kata-kata yang diucapkan sosok anak kecil sebagai simbol generasi baru yang sadar lingkungan:
“Air suci//Sucikanlah diri//Sucikanlah negeri//Sucikanlah bumi//Sucikanlah kehidupan ini.” Ucapnya.
Makna Happening Art
Pegiat Jangkar Jiwa, Heri Cokro menyampaikan pentas ini adalah peristiwa spontan tanpa proses latihan. Tapi karena masalah ini sangat dekat dengan kita semua maka para aktor yang memerannya relatif mudah untuk memahaminya. Kita juga memperkenalkan aktor cilik, Sakti Raksaka Prana, siswa SDIT Birru wa Takwa kelas 1, Tohir Kulikulo, Jalu dan Dani serta saya sendiri.
Selain itu, Heri Cokro mengatakan. “Di pilihnya lokasi teatrikal di bantaran Sungai Ciliwung untuk mengingatkan kepada masyarakat agar senantiasa peduli terhadap sungai, salah satunya sungai Ciliwung yang mengalir di Kota Bogor.”
Heri Cokro menyebutkan sungai Ciliwung, Cisadane dan Cipakancilan dan ribuan sungai arteri yang membentuk wajah Kota Bogor adalah sumber hidupnya peradaban purba manusia hingga saat ini.
Sungai yang membawa air suci anugrah dari telaga swargaloka Sang Pencipta semestinya mampu memberikan kesejahteraan bagi sesama hidup yang membentuk kehidupan.
“Jika air suci ini kita kotori dengan segala sampah peradaban manusia seperti yang tampak saat ini, maka kesuciannya akan berubah menjadi keruh, menjadi lusuh bahkan akhirnya menjadi musuh bagi kehidupan manusia itu sendiri.” Tuturnya.

Lanjut Heri, wabah penyakit akibat aliran air sungai yang menjadi tempat pembuangan sampah terpanjang di dunia ini, akan merasuk dalam jiwa dalam raga tiap manusia yang menegak airnya.
Banjir bandang akibat hulu sungai yang di babat hutan dan kehidupan ekosistemnya akan menjadi musibah dan bencana bagi manusia.
Sedang segala sebab dari hilangnya kesucian dan kejernihan sungai ini adalah akibat perilaku busuk manusia yang merusak lingkungannya sendiri demi memuaskan nafsu, memelihara kemalasan, mengusung budaya dan peradaban yang menistakan sungai.
“Sebagai penanda sejarah dan peradaban kota, sungai-sungai yang mengaliri paras kota Bogor ini harus segera di kembalikan sebagai sumber hidup dan kehidupan, pungkasnya.
Diskusi Publik Pitulasan #3
Selepas pementasan happening Art, kegiat berlanjut di sekretariat Trotoar Kreatif dengan Diskusi Publik Pitulasan dengan tema “Kota Bogor: Sejarah, Realitas dan Masa Depan”. Yang menghadirkan pembicara Rachmat Iskandar, Ki Agus Pranamulia, dan Teguh Tri Fauzi dengan di moderasi oleh Eko Prayitno.
Diskusi berjalan dinamis dengan antusiasme para peserta, mereka begitu tertarik membedah polemik sejarah kota Bogor mulai dari masa prasejarah, kerajaan Sunda hingga Padjajaran, masa kolonial dan pasca kemerdekaan yang begitu menantang untuk di sarikan muatan-muatan nilainya bagi pembangunan dan perkembangan kota saat ini hingga proyeksi masa depannya.

Di sela-sela diskusi tampil pula sajian seni musik dari Madun Sareng Rencang yang membawakan rajah bubuka, lagu dan musik dari Trotoar Kreatif, dan penyanyi cilik, Gendis.
Meski belum memuaskan bagi peserta, diskusi kemauan di tutup dengan doa oleh Ustad Dudi dan syukuran sekretariat baru Trotoar Kreatif pimpinan Tohir Kulikulo dengan memotong tumpeng.
(Ckr03)