VakansiInfo – Kereta datang dan pergi. Penumpang silih berganti. Tapi yang mampir di kepala gue bukan jadwal kereta atau laporan resmi—melainkan cerita kecil yang kadang terlewat, tapi bikin hati nempel. Kadang gue mikir, yang sebenernya perlu di tulis itu bukan angka-angka, tapi detik-detik yang nggak semua orang sempat liat.
Sore itu gue lagi dinas panjang di loket Stasiun Tanah Abang. Dari siang sampai closing. Duduk anteng di balik kaca kecil, baju kemeja putih-hitam khas petugas yang belum resmi—belum punya seragam lengkap. AC rusak, angin panas dari subuh masih setia menemani, dan suara kereta sesekali bikin jantung ikut berdetak.
Emak-emak itu datang pelan. Usianya mungkin lewat kepala lima, wajahnya teduh tapi tegas. Bakul dagangan di taruh di atas meja loket: makaroni, keripik, cemilan plastik rapi. Dagangan khas ibu-ibu tangguh yang hidup di antara jalur-jalur keras ibukota.
“Mak, udah mau pulang yaak,” gue bilang dari mikrofon kecil.
Dia senyum, sambil merogoh plastik bening kiloan berisi uang seribuan dan logam lima ratusan. Jumlahnya pas-pasan, tapi hangatnya terasa, nyelonong masuk lewat lubang kecil itu.
“Sebentar ya, Pangeran, kartunya mana yaak,” katanya sambil nyari-nyari.
Entah siapa yang pertama kali manggil gue Pangeran. Tapi dari mulut emak-emak itu, rasanya lucu sekaligus ngena.
Gue cuma senyum. Dalam hati gue ngebatin:
Iya, Pangeran. Tapi pangeran yang hidupnya mirip Roger Danuarta pas sinetron Pangeran Kampus. Nggak ada istana, yang ada meja loket bekas nempel nasi padang, AC rusak, dan angin panas yang setia dari subuh.
“Pelan-pelan aja Mak, nggak usah buru-buru,” gue bilang. Padahal di belakangnya antrian lumayan panjang. Tapi entah kenapa, gue nggak peduli.
“Hari ini laku banyak ya dagangannya?”
“Alhamdulillah, Pangeran. Tinggal dikit,” jawabnya sambil nyodorin recehan yang menurut dia jelek.
“Maaf ya uangnya begini.”
Gue ambil aja. Nggak gue hitung, nggak gue periksa. Petugas keamanan di samping sempat nanya, “Lu nggak takut duitnya kurang?”
Gue cuma geleng pelan.
“Udah cukup, Mak. Kartu emak ada? Mau pulang ke Maja, ya?” Gue cetak tiketnya langsung.
Sebelum pergi, dia sempat nawarin makaroni dan keripik.
“Ini buat nemenin kamu kerja, enak tau. Mau nggak?”
Gue senyum, tapi nolak halus. Dia geser ke sisi samping loket, posisi udah siap jalan, tapi masih sempat bilang:
“Makasih ya, Pangeran. Sehat-sehat terus.”
“Udah sore, Mak. Nanti ketinggalan kereta. Itu kereta ke Maja mau masuk di jalur 3.”
Dia angguk, mulai jalan. Bakul dagangannya di gendong pakai kain lusuh, langkah pelan. Ada lelah di punggungnya, tapi juga ketegaran yang nggak semua orang punya. Gue sempat mikir: mungkin recehan dan plastik bening itu bukan sekadar alat bayar. Mungkin itu sisa laba, sekaligus modal buat besok. Angka kecil itu kalau di ketik orang mungkin di anggap remeh. Tapi kalau di rasain, beratnya bukan main.
Gue duduk di balik loket, liat dia menjauh, dan mikir—ini manusia bukan sekadar transaksi. Ini perjuangan yang bisa bikin lo belajar empati cuma lewat satu momen kecil.
Malam itu, kereta terakhir udah lewat. Tapi cerita dari emak-emak Maja itu masih nempel di kepala gue. Bareng suara kereta, aroma makaroni, dan doa-doa sederhana yang mungkin jadi bahan bakar hidup masing-masing orang.
Hari itu gue merasa jadi manusia, bukan cuma petugas. Dan walau gue malas mencatat, ingatan tentang Emak Maja dan tiket receh itu terus nempel.
Kadang, dari balik kaca loket, lo belajar banyak hal—tentang kesederhanaan, ketegaran, dan rasa hormat. Semua itu nggak ada di laporan resmi, tapi tinggal di hati gue.

Muhammad Haadi Nur Haq (Acil)
Lahir di Jakarta, 12 Desember 1990. Tumbuh di keluarga sederhana namun berkecukupan, rumahnya selalu dipenuhi canda dan tawa. Sejak kecil, Acil suka mengamati dunia dari sudutnya sendiri, mencatat hal-hal kecil yang sering luput dari perhatian orang lain. Kini, ia menulis untuk menghadirkan cerita yang hangat, penuh humor, dan mudah dinikmati pembaca—sesekali dengan sentuhan kejenakaan yang bikin senyum tipis atau setidaknya mengangguk sambil bilang, “Iya, gue ngerti nih.”



