Vakansiinfo – Diskusi Komunikasi Mahasiswa (DISKOMA) kembali di selenggarakan oleh Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada. DISKOMA yang telah memasuki edisi ke-13 ini mengangkat topik “Menjadi Seorang Intelektual: Integritas dan Tanggung Jawab Keilmuan”. Sebagai respon atas isu yang belakangan marak di bicarakan terkait iklim akademis dan ekosistem publikasi di Indonesia. Narasumber yang di hadirkan antaralain yakni Mariessa Giswandhani (Dosen dan Education Content Creators), Ahmad Effendi (Reporter Mojok.co), serta Albertus Fani Prasetyawan (Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi).
Pada dasarnya, riset atau penelitian telah menjadi hal fundamental dalam kehidupan manusia. Albertus Fani Prasetyawan yang akrab di sapa sebagai Al mencoba memaparkan fakta ini lewat pemikiran Plato atas bagian jiwa manusia. Yang terdiri dari Epithumia yakni hasrat keinginan dan maksud. Thumos yang berarti semangat keberania dan juga daya juang, serta Logisticon yang mendorong pada pencarian kebenaran dan pengetahuan. Refleksi dari ketiga hal ini tertuang dalam sebuah proses penelitian atau riset.
Menurut penjelasan Al yang telah berpengalaman membawa risetnya hingga taraf konferensi internasional yang cukup bergengsi, dalam tahapan publikasi ilmiah juga kemudian tak lepas dari proses pencarian dan pemeriksaan kredibilitas latarbelakang jurnal yang di tuju.
Namun, salah satu problematika terkait publikasi di Indonesia umum di sebabkan oleh kebijakan menteri. Terkait riset dan publikasi yang menjadikan karya ilmiah sebagai suatu komoditas bagi institusi dan akademisi. Hal inilah yang kemudian Ahmad Effendi coba paparkan sebagai penulis sekaligus jurnalis yang juga memiliki perhatian terhadap integritas keilmuan khususnya. Terkait pertanyaan atas siapa yang salah dan rugi dengan adanya kecurangan publikasi riset akademis.
Ia memaparkan data retraksi jurnal dari penulis Indonesia kian meningkat selama 5 tahun terakhir. Hal ini berkaitan dengan fakta bahwa maraknya praktik-praktik seperti jurnal predator, joki jurnal, serta plagiator telah menjadi tradisi yang sistemis. Setidaknya dana sebanyak 10 miliar rupiah telah di habiskan untuk membiayai publikasi yang bermasalah selama pandemi. Selain itu, Effendi mengungkap publikasi jurnal bermasalah pada akhirnya hanya menciptakan pseudo-data bagi para pengambil kebijakan. Lebih jauh dampak terburuknya di rasakan oleh masyarakat akar rumput.
Pernyataan ini di dukung oleh Mariessa Giswandhani dari perspektif akademisi yang menjelaskan hubungan antara regulasi dan realisasi publikasi ilmiah. Ia mengakui bahwa pelanggaran-pelanggaran akademis di Indonesia memang kian menjamur dan sebenarnya telah lama ada. Pelanggaran ini semakin di perburuk sejak adanya tuntutan publikasi di kalangan mahasiswa S2 yang menjadi salah satu faktor berpengaruh atas praktik-praktik tersebut.
Jenis-jenis pelanggaran Karya Ilmiah dapat di temukan dalam bentuk fabrikasi, falsifikasi, plagiasi, missatribusi, kepentingan, serta submisi ganda. Mariessa menyayangkan luputnya pemerintah atas tekanan, edukasi terkait etika, serta minimnya pengawasan publikasi ilmiah di Indonesia.
Pada akhirnya, diskusi virtual ini di tutup dengan pertukaran ide dan perspektif dan beragam peserta dari berbagai latar belakang. Peran perkembangan teknologi seperti artificial intelligent (AI) dan algoritma juga turut di singgung terkait fenomena yang terjadi dalam lingkungan publikasi di Indonesia.
Dr. Rahayu, M.Si. selaku kepala Prodi Magister Ilmu Komunikasi mengungkapkan dengan adanya pertukaran pandangan dan diskusi kali ini di harap dapat memberi jawaban atas bagaimana mestinya integritas keilmuan bisa di lihat.
(Eff)