Landing Perdana Robot Gedeg di Kerajaan Salabintana - (Part 4)

Landing Perdana Robot Gedeg di Kerajaan Salabintana – (Part 4)

“Hari Biasa yang Menolak Jadi Biasa”
Dan bener aja.

VakansiInfo – Belum lima menit setelah bus pelan masuk area hotel, pemandangan luar jendela kebuka kayak layar tivi tabung yang baru disetel. Bus Hiba Utama yang gue tumpangi belok masuk ke parkiran Hotel Salabintana. Dari kaca, gue liat deretan bus lain udah parkir rapi—rapi banget, lurus kayak ular tangga lagi ikut upacara bendera.
Tumben bus-bus begini akur semua; biasanya suka adu gengsi klakson.

Area parkirannya luas, adem, rame pula. Bus-bus gede warna-warni berhenti satu-satu, rombongan keluarga turun dengan gaya masing-masing, pegawai-pegawai kantor ayah gue panik nyari tas yang entah tadi taruh di mana, sementara matahari Sukabumi udah mulai nyelekit tapi masih sopan—nggak pake marah-marah.

Gue yang dari tadi chaos di kursi, sekarang pindah chaos ke trotoar.

Umur gue belum genap lima tahun, tapi kelakuan udah kayak campuran badut ulang tahun + kucing liar + remote TV rusak. Loncat-loncat, narik sandaran kursi orang, rebutan bekal sama Ka Uci, nyenggol emak, bahkan sempet ngagetin penumpang depan.

Kalau ada nominasi “Bocah Paling Merusak Kedamaian Perjalanan”, gue menang mutlak tanpa voting ulang.

Begitu bus berhenti total, emak langsung nyuruh kami turun. Tapi dari cara emak nengok kanan-kiri, gue tau dia lagi panik. Wajar… zaman itu emak nggak punya HP—benda itu masih level mimpi dan pajangan konter.

Sementara ayah?
Ya jelas nggak ada.
Dia disuruh berangkat duluan buat jadi panitia gathering.

Emak ngomel otomatis,
“Ayah lu ke mana yaaak?”
Tone-nya kayak sirene ambulans sedang pemanasan.

Gue nengok pelan, sambil mikir, Santai kali, Mah… baru turun juga…

Ka Uci udah manyun maksimal.
“Badanku pegel banget, Mah. Ini tuh dingin, lembek, kayak mie instan overcooked.”
Drama kelas A, edisi 90-an.

Baca Juga  Briefing Imajinasi Robot Gedeg: Misi Rahasia ke Salabintana (Part 1)

Emak nggak jawab. Matanya muter, scanning area parkir kayak CCTV Koperasi yang baru dipasang tapi sensornya kebablasan.

Gue turun dari bus sambil jalan miring-miring ala Robot Gedeg.
Kalau jalan gue bisa ngomong, pasti dia bilang: “Error. Update firmware gagal.”

Tangan gue sibuk ngopek-ngopekin batu nyempil di sela ban bus. Kadang gue ngupil Kadang loncat-loncat. Kadang bengong ke langit liat awan bentuk bakso.
Hidup gue random generator berjalan.

Dan… bruk!

Gue nyungsep.
Kepala gue nyium paving block.
Suara di kepala: TOK! kayak kentongan ronda punya Pak RT.

Refleks?
Nangis.
Bukan nangis biasa—level sound system masjid kalau mic-nya dideketin kipas angin.

“HUWAAAAAAAAAA!!”

Ka Uci langsung panik, gendong gue sambil ngomel ngalor-ngidul, bawa gue balik ke arah emak. Mukanya shock. Ingus gue ke mana-mana, air mata beleber, suara pecah. Drama deluxe.

Tiba-tiba…

Muncul seorang lelaki.

Jalan tegap.
Seragam staff hotel.
Aura calm tapi berwibawa—kayak superhero, tapi versi housekeeping yang rajin sepatunya kinclong.

“Ibu istri Pak Zulkarnaen, ya? Mari, saya antarkan.”

Gue langsung diam.
Secepat itu drama gue berhenti—kayak tombol pause kepencet.

Ini orang keren banget… kayak pahlawan hotel yang kalau jalan ada musik latar.

Dia angkut semua barang kami—koper, tas, bawaan emak.
Lengan dia kayak forklift manusia.

Emak gendong gue, dan kita mulai jalan.

“Pak, laki saya lagi di mana sih?”
Suara emak udah turun dari mode sirene ke mode manusia normal.

“Pak Zulkarnaen sedang di ballroom, Bu. Persiapan acara makan malam nanti.”

Baca Juga  Grand Dafam Ancol Jakarta Luncurkan Compacto Trio & Quattro: Satu Kamar, Liburan Lebih Seru!

Ballroom.
Kata yang kedengeran wah di kuping bocah 4–5 tahun.

“Wuih… keren banget ayah gue…”
Gue bisik sendiri, bangga setengah mati.

Perjalanan menuju hotel penuh adegan bonus:
Gue loncat-loncat di paving block, hampir jatoh lagi, nyenggol pot bunga, kabur dikit, terus balik lagi.
Kayak obstacle course tapi gratis.

Ka Uci udah capek jiwa.
Emak? Senyum-senyum aja.
Dua generasi, dua cara menghadapi bocah rusuh.

Bangunan hotel makin deket.
Cat putihnya bersih, bentuknya elegan.
Di kepala gue, ini udah kayak istana raja musiman.

Dan akhirnya…
Kita sampai.

Petugas hotel buka pintu kamar, masukin tas-tas, senyum sopan, lalu pamit.
Emak keliatan lega.
Ka Uci jatoh duduk kayak atlet yang habis dikerjain lari 400 meter.

Gue berdiri di tengah kamar.
Bengong.
Semua chaos dari bus sampai halaman hotel muter ulang di kepala gue.

Lalu perlahan, bibir gue nyengir.
Tangan ngepal.
Mata berbinar kayak lampu senter baru diganti baterai.

Dan misi baru gue resmi dimulai:

“Siap-siap, hotel. Robot Gedeg datang buat bikin onar lagi!”

Sepuluh Ribu, Hanamichi, dan Jiwa yang Nyangkut di Besi Perlintasan Muhammad Haadi Nur Haq (Acil) 1

Muhammad Haadi Nur Haq (Acil)

Lahir di Jakarta, 12 Desember 1990. Tumbuh di keluarga sederhana namun berkecukupan, rumahnya selalu di penuhi canda dan tawa. Sejak kecil, Acil suka mengamati dunia dari sudutnya sendiri, mencatat hal-hal kecil yang sering luput dari perhatian orang lain. Kini, ia menulis untuk menghadirkan cerita yang hangat, penuh humor, dan mudah di nikmati pembaca. Sesekali dengan sentuhan kejenakaan yang bikin senyum tipis atau setidaknya mengangguk sambil bilang, “Iya, gue ngerti nih.

About The Author

Pilihan Redaksi

7 Kuliner Khas Indonesia yang Mendunia dan Wajib Dicoba

7 Kuliner Khas Indonesia yang Mendunia dan Wajib Dicoba

Nusantara Wonderland: Harmoni Budaya Indonesia dalam Perayaan Tahun Baru di Harris Cibinong City Mall Bogor

Nusantara Wonderland: Harmoni Budaya Indonesia dalam Perayaan Tahun Baru di Harris Cibinong City Mall Bogor