Omah Mbudur

Belajar Tiga Filosofi Melayani Tamu Para Leluhur Borobudur di Omah Mbudur

Omah Mbudur

Vakansiinfo, Magelang – Kurang lengkap rasanya, jika menyambangi kawasan wisata Borobudur kalau tidak melenggang ke Omah Mbudur yang hanya berjarak hitungan menit saja.

Menyambangi kawasan wisata paling ikonik Jogja – Solo – Semarang (Joglosemar). Adalah suatu keharusan yang mesti Anda luangkan untuk berkunjung ke tempat ini (Omah Mbudur).

Di sambut keramah tamahan khas Omah Mbudur di iringi dengan welcome drink serta senyum sumringah Nuryanto. Owner Omah Mbudur dengan pakaian khas Jawa dan udeng sebagai mahkotanya.

Pria yang santun dan ramah ini pun menyampaikan ihwal Omah Mbudur. Sebagai trip atau destinasi yang berfokus pada Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Omah Mbudur

Istana Kecil di Tengah Hutan Bambu

Pak Nur, begitu sapaan akrabnya menjelaskan. Dalam babad Borobudur, kawasan ini di sebut Vanua Wana Mandra yang bermakna ‘Istana Kecil di Tengah Hutan Bambu’. Menjadi tempat singgah para Jlogro atau pemahat.

“Saya ini termasuk masih pemahat, bapak juga, eyang juga. Dan, ini karya-karya saya. Sekaligus bukti bahwa di tempat ini dulunya petilasan para pemahat, ada prasastinya. Di temukan di lubang-lubang itu,” seraya menunjuk ke belakang dan ke bawah dirinya berdiri.

Baca Juga  Menikmati Keindahan Sunrise di Bukit Kabayan Bogor

Salah satu prasasti yang ada di Omah Mbudur adalah arca dua penari. Yang usianya sama dengan Candi Borobudur, abad ke 7 atau 8. “Saya pun sudah ijin dari balai konservasi untuk memperlihatkan benda ini ke tamu, sebagai bukti sejarah,” ungkap Pak Nur.

Kawasan ini, lanjutnya, adalah hutan bambu. Menjadi tembang tepung gelang Candi Borobudur. Bahkan sampai saat ini Desa-nya masih ada namanya Brojonalan.

Kira-kira tembangnya seperti ini; Brojonolo sun tingali, anak mbarep ing Mbekangan, ojo owah ing arane’. Ngaran gunung Pademangan, itu pusat pemerintahan yang sekarang jadi Borobudur.

‘Gendingan wis keno. Jadi hidup harus selaras. Bokowanti kaliabon. Abon itu sari-sari yang di gongso sampai jadi abon. Rojo kelon ing njligutan…’ Ini Namanya tepung gelang yang selalu di kisahkan dengan budaya tutur.

Jadi leluhur itu menuturkan tentang kisah-kisah Borobudur melalui tiga budaya. Yakni; Sandang, apa yang kita pakai, pakai batik ceplok ada yang batik kawung, itu gak bisa di plintir. Di pilih sandang supaya tidak di plintir dan pesan itu sampai.

Baca Juga  Liburan Ala Jepang Dan Korea Di Grand Splash Water Park Bekasi

Yang kedua Pangan, dan Papan. Papan ini seperti candi, rumah, joglo, limasan, artefak ada stupa, gambar relief, terpahat gajah katakana gajah.

“Terakhir yakni Nada, seperti gending, saat bunyi gong, katakana gong. Karena kata-kata bisa di plintir. Ini yang membuat leluhur kami memakai budaya tutur bentuk.” urainya.

Tiga konsep yang sekarang telah berubah

Sekarang ini tiga konsep tersebut sudah berubah, contoh, dalam kepemimpinannya budaya tutur, ing ngarso sun tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.

Selain tiga filosofi budaya tersebut, leluhur pun mengajarkan bagaimana melayani dan menerima tamu dalam tiga filosofi. Yakni; Gupuh, tergopoh-gopoh menyambut tamu dan memberi sesuatu. Selanjutnya Suguh, apa yang di miliki di suguhkan. Dan terakhir Lungguh, ada narasi ketika duduk dan ngobrol.

“Jadi, dalam menyambut tamu itu tidak boleh di biarkan, buka pintu sendiri, duduk sendiri dan ambil minum sendiri.” Pungkas Pak Nur.

(Eff)

Categories: ,